BANDA ACEH – Hamdanil duduk sendiri di ruang tamu rumahnya, kawasan Gampong (Desa) Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh. Sesekali tangannya meraba meja, mencari cangkir berisi kopi hangat untuk diseruput.
“Tuh lihat, saya sudah salaman sama gubernur dan presiden,” kata pria itu sambil menunjuk ke dinding rumahnya saat ditemui Okezone, akhir Februari 2017.
Ya, tepat di sisi kanan dinding rumahnya, terpajang tiga bingkai foto yakni momen saat ia bersalaman dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2006-2012) dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah (2012-2017). Sementara di tengahnya terlihat gambar dirinya sedang bersalaman dengan Presiden RI ke enam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hamdanil boleh bangga dengan pertemuannya dengan sejumlah orang besar. Namun, itu bukan berarti kaum disabilitas sudah mendapat jaminan penuh dari negara. Masih banyak rekan senasib Hamdanil yang sulit mengakses fasilitas publik. Banyak pembangunan yang belum ramah disabilitas. Warga difabel juga kerap sulit menggunakan hak suaranya kala pemilu.
Dibanding pemilihan sebelumnya, Pilkada serentak 2017 memang sedikit lebih memperhatikan nasib penyandang disabilitas. Selain nama yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) meningkat dan lebih jelas, ada beberapa kemudahan yang disediakan.
Hamdanil membandingkan Pilkada Aceh 2012 dengan 2016. Pada pesta demokrasi lima tahun lalu, ia masih ingat saat ingin memberikan hak suaranya. Hamdanil yang sudah jauh-jauh datang, tapi saat tiba di TPS dan meminta template untuk mencoblos. Sialnya, petugas malah tidak tahu. Padahal, itu merupakan salah satu kebutuhan bagi disabilitas untuk bisa memilih.
Namun, pada Pilkada 15 Februari 2017, kondisinya sudah lebih baik. Begitu masuk ke TPS, petugas KPPS langsung memberi template kepada pemilih tuna netra kemudian dibawa ke bilik suara suara untuk mencoblos.
“Difabel dulu tidak dihitung, tapi sekarang hampir yang kita temui sudah ada data difabel sehingga sudah mendapat haknya,” kata komisioner Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Otto Samsudin Ishak.
Simulasi pilkada di Banda Aceh (Antara)
Sejak menjelang pemilihan kepala daerah, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah menetapkan jumlah pemilih disabilitas di provinsi itu sebanyak 2.904 orang, dari data sementara sebelumnya 7.221 pemilih. Meski begitu, hanya 912 disabilitas yang menggunakan hak pilihnya.
Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Aceh menyebutkan, angka disabilitas di Serambi Makkah mencapai 63 ribu orang lebih. Artinya, jika hanya 2.904 yang masuk daftar pemilih, ini tergolong sangat sedikit.
“Harusnya kan 30 ribu paling tidak yang memilih,” ujar Hamdanil.
Lebih parah lagi, sangat sedikit penyandang disabilitas yang memberikan hak suaranya yakni hanya 912 orang dari 2 ribu lebih yang masuk DPT. Hamdanil pun kecewa. “Saya melihat ada mata rantai yang terputus, kurang sosialisasi,” kata suami Nursiah itu.
Secara persentase, hanya 31 persen disabilitas yang menggunakan hak pilihnya dari yang tercantum di daftar. Selebihnya adalah golongan putih. Penyelenggara pilkada mengklaim bahwa, sosialisasi di seluruh Aceh untuk penyandang difabel telah dilakukan. Kaum difabel dilibatkan langsung.
Misalnya pada 6 November 2016, saat sosialisasi penggunaan hak pilih bagi warga berkebutuhan khusus di Banda Aceh. Ada puluhan difabel hadir. Mereka tidak hanya mengikuti gelaran sehari itu. Namun juga menjadi panitia sekaligus penyusun tata laksana acara.
Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Sarifuddin mengatakan, dalam simulasi pemilihan memang sulit dilihat di mana sisi kekurangan akses bagi disabilitas. “Dalam sosialisasi itu kita akan tahu dimana letak kekurangan untuk akses bagi kaum disabilitas,” katanya.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengklaim telah mensosialisasi pemilihan hingga ke tingkat desa terhadap disabilitas, nyatanya tetap saja tidak mampu mendulang banyak suara dari kaum difabel.
Saat kampanye pilkada digelar untuk difabel, KIP melihat sejumlah hal yang menjadi catatan. Mereka umumnya harus dituntun oleh satu orang untuk tiap disabilitas. contoh saja, diundang seorang disabilitas, sama dengan mengundang dua orang. Artinya seorang lagi ialah pemandu.
“Rata-rata kelompok mereka (disabilitas) sebahagian besar mereka apatis, tidak mau (memilih),” kata Wakil Ketua KIP Aceh, Basri M Sabi.
Menurutnya akses difabel di lokasi pemilihan sudah disediakan cukup memadai. Selain memberikan askses kepada disabilitas, setiap TPS juga disiapkan dua pemandu bagi orang berkebutuhan khusus.
Bukan hanya itu. Komisioner KIP menyebutkan, sebagian dari penyandang disabilitas berada pada tingkat wawasan pendidikan yang minim. Sehingga sosialisasi ekstra perlu dilakukan. Evaluasi itu juga rencananya akan dimaksimalkan pada pilkada mendatang.
Warga disabilitas pun berharap ada perubahan pelayanan di masa akan datang. Mereka hanya berharap ada perhatian dari negara. “Saya cuma bisa berharap perhatian lebih pemerintahan baru. Teman-teman (disabilitas) juga jangan sampai minder. Kita masih ada waktu untuk berkembang dan berusaha dengan pendidikan,” ujar Hamdanil. (Rayful/Okezone)