Accessibility Tools

kampanye media sosial

Komunikasi Kelompok (Studi Dialog Komunitas Penyandang Disabilitas di Jakarta dalam Pelaksanaan Kampanye Pemenuhan Quota 1% Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di Perusahaan Swasta)

Gufroni Sakaril, Drs, MM
Dosen Universitas Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
Dewan Pertimbangan PPDI
gufronisakaril.gs@gmail.com
gufroni_sakaril@mercubuana.ac.id

ABSTRAK

Kelompok merupakan sekumpulan orang yang memiliki satu persatuan sosial yang menjalankan sebuah interaksi secara intensif dan memiliki tujuan bersama. Dalam suatu kelompok memiliki tujuan yang merupakan suatu gambaran yang diharapkan anggota yag akan dicapai oleh suatu kelompok. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital dalam pemberdayaan komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi yang berlangsung dalam kelompok masyarakat sebagai bagian dari proses penggalian ide . Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, sementara teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, FGD, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang setara antar anggota komunitas disabilitass. Proses dialog yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang panjang dan melibatkan berbagai ragam disabilitas dapat menjadi kekuatan dalam merumuskan langkah dan strategi kampanye yang efektif. Setelah komunitas berhasil menumukan isu prioritas maka isu tersebut dikampanyekan melalui media sosial diantaranya what up, instagram, facebook dan youtube

Kata kunci: Komunikasi kelompok, partisipasi, dialog, kampanye sosial

ABSTRACT

Community  is a group of people who have a social union that carries out an intensive interaction and has a common goal. In a group has a goal which is a picture that is expected by members to be achieved by a group. Communication has a very vital role in community empowerment. This study aims to find out how the communication process takes place in community groups as part of the process of generating ideas. This research is a qualitative research with a case study approach, while data collection techniques use in-depth interviews, FGDs, and observation. The results of the study show that there is equal communication among members of the Person with disability community. The dialogue process that is carried out continuously for a long time and involves various types of disabilities can be a force in formulating effective campaign steps and strategies.

Keywords: Group communication, participation, dialogue, community empowerment

 

PENDAHULUAN

Menjadi seorang penyandang disabilitas tentu membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar. Beberapa penyandang disabilitas memilih bergabung dalam komunitas untuk mendapatkan dukungan mental dan mengetahui tindakan yang harus diambil. Dalam kelompok komunitas mereka  Tanpa adanya dialog yang intens, partisipasi hanya bersifat tokenisme, di mana masyarakat didorong untuk berpartisipasi dan diberi informasi tentang suatu keputusan, tetapi sebenarnya mereka hanya punya sedikit atau sama sekali tak memiliki kekuasaan untuk memengaruhi keputusan tersebut (Arnstein, 1969;).

Komunitas Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) merupakan sebuah kelompok yang intens melakukan dialog  dalam membuat prioritas isu hak disabilitas di Indonesia. Mereka dapat menunjukkan dirinya sebagai komunitas yang mengandalkan keterlibatan seluruh anggotanya dalam kegiatan  kampanye pemenuhan hak quota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas.. Dialog yang dilaksanakan sevara terbuka dan setara untuk menjaga orisionalitas idea atau gagasan.  Sering penyandang disabilitas menuntut semua haknya dipenuhi seketika tapi tidak didasarkan skala prioritas dan kebutuhan mendesak bagi para anggotanya. Dengan demikian isu yang dikanpanyekan tidak focus dan cenderung dangkal tidak disertai dengan argument yang kuat dan tidak didasarkan pada data yang mendukung. Karena itu, dialog yang bersifat deliberatif dapat menjadi alternative  dalam membangun hubungan dan mencari solusi terhadap ermasalahan yang dialami  masyarakat atau komunitas (Harriger, 2014; McCoy & Scully, 2002; Raelin, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses deliberative dialogue yang dilakukan Komunitas penyandang Disabilitas (PPDI) dalam kampanye kuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas berkelanjutan di Pejaten Timur Pasar Minggu. Deliberative dialogue adalah interaksi dua arah di mana masing-masing pihak mampu menegosiasikan pendapat serta keputusan dengan posisi setara (Ife, 2006). Dialog antarindividu dan antarpihak seharusnya dapat didasari pada kepekaan terhadap kemampuan-kemampuan bawaan yang dimiliki setiap individu untuk menemukan diri sendiri. Dialog juga harus berdasarkan pada kemauan untuk belajar dari orang lain, tidak menganggap pihak lain lebih rendah, dan tidak kalah pentingnya adalah memperlakukan orang lain secara sederajat (Syarah & Rahmawati, 2017).

Komunikasi Kelompok

Komunikasi kelompok merupakan sekumpulan individu yang berkomunikasi dan menjalin relasi dalam skala tertentu yang memiliki komunikasi intens dengan norma dan tujuan yang tertentu (Shaw, 1976). Bungin (2008) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai komunikasi di mana anggota kelompok mampu melihat dan mendengar anggota lainnya dan mengatur umpan balik baik itu secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya. Pengertian kelompok di sini adalah kelompok kecil, dan tidak ada batasan yang jelas mengenai jumlah orang di dalam kelompok kecil. Umumnya, kelompok kecil terdiri dari 2 sampai 15 orang.  Kelompok punya tujuan yang diperjuangkan bersama sehingga kehadiran setiap orang dalam kelompok diikuti dengan kepentingan pribadi masing-masing anggotanya. Kelompok juga punya serangkaian aturan yang dibuat sendiri dan merupakan kontribusi arus informasi di antara mereka sehingga mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik khas dan melekat pada kelompok tersebut. Kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka secara intensif adalah kelompok yang baik. Tatap muka mengatur sirkulasi komunikasi makna dalam kelompok agar nantinya dapat melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta kerinduan di antara anggota kelompok. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Oleh sebab itulah, kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi itu mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan suatu masalah, pembuatan keputusan, dan fungsi terapi (dalam Bungin, 2008). Pertama, fungsi hubungan sosial yaitu bagaimana komunitas bisa memelihara serta memantapkan hubungan sosial antaranggotanya, misalnya melakukan aktivitas informal, santai, dan menghibur. Kedua, fungsi pendidikan, yaitu bagaimana sebuah kelompok baik itu secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan. Ketiga, fungsi persuasi, yaitu di mana anggota kelompok berupaya mempersuasi anggota lainnya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Keempat, fungsi pemecahan masalah yang berkaitan dengan penemuan solusi yang tidak diketahui sebelumnya, sementara pembuatan keputusan berhubungan dengan pemilihan antara dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan materi atau bahan bagi pembuatan keputusan.

Dipilihnya komunitas sebagai unit kajian didasarkan pada pertimbangan bahwa pada sebuah komunitas masih dimungkinkan adanya keterlibatan sosial secara langsung karena lingkupnya yang terbatas. Dalam lingkup komunitas diasumsikan bahwa masyarakat dapat mengekspresikan dirinya secara bebas dengan mengutamakan inisiatif, kreativitas, potensi dan terbuka. Pengembangan komunitas diarahkan pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan, sumberdaya, peluang, dan peningkatan kapasitas dalam hal pengelolaan pembangunan. Dengan kata lain, peningkatan kapasitas masyarakat diarahkan pada kemampuan individu memproses keseluruhan pengalaman sosialnya, termasuk pemahamannya pada realitas di sekelilingnya dalam merealisasikan ide, gagasan, dan targetnya (Ndraha, 1987).

Menurut Ife (2006) komunitas memiliki definisi yang luas. Paling tidak ada lima ciri untuk mengidentifikasikan komunitas. Pertama, skala manusia. Komunitas biasanya melibatkan interaksi-interaksi pada skala yang mudah untuk dikendalikan dengan skala terbatas pada orang yang saling mengenal sehingga interaksi mudah diakses oleh semua anggota komunitas. Kedua, ada unsur identitas dan kepemilikan di mana ada perasaaan memiliki, perasaan diterima dan dihargai dalam lingkup kelompok. Ketiga, ada berbagai kewajiban dan tanggung jawab yang dipikul oleh komunitas di dalam bentuk partisipasi dan kontribusi. Keempat, ada unsur gemeinshacf di mana suatu komunitas memberikan kesempatan pada setiap individu untuk berinteraksi dengan sesama dalam keberagaman peran yang lebih besar, yang didasari pada tanggung jawab setiap bagian kerja. Kelima, ada budaya lokal yang diilhami dan ditaati secara bersama-sama oleh komunitas.

Menurut Roger dan Storey (1987) menjelaskan kampanye sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu Hafied Cangara (2000) . Keterkaitan komunikasi dengan kampanye tentu tidak terlepas dari usaha penyebaran pesan-pesan memperbincangkan tentang dimensi perubahan pada individu dan masyarakat. Pada umumnya semua bentuk kampanye selalu menggunakan media sebagai saluran pengirim pesan yang telah ditata dengan baik kepada target sasaran yang telah direncanakan sebelumnya.

Charles U. Larson (1992) sendiri membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori, yakni kampanye produk, kampanye pencalonan kandidat, dan kampanye misi sosial. Adapun pada Kampanye produk (Product oriented campaigns) merupakan kegiatan kampanye yang berorientasi komersial, seperti peluncuran produk baru. Kampanye ini biasanya sekaligus bermuatan kepentingan untuk membangun citra positif terhadap produk barang yang diperkenalkan ke publik. Pada Kampanye pencalonan kandidat (Candidate Oriented Campaigns) adalah kampanye yang berorientasi politik, seperti kampanye Pemilu dan Pilkada. Sedangkan Kampanye ideologi atau misi sosial (Ideological or Cause Oriented Campaigns) adalah kampanye yang bersifat khusus keagamaan, berdimensi sosial, atau perubahan sosial. Ketiga kampanye ini dapat berkaitan dengan desain komunikasi visual. Penyampaian pesan yang umumnya menyangkut hal yang kompleks mampu diminimalisir dengan adanya peran dari desain komunikasi visual yang diaplikasikan ke media. Elemen-elemen yang ada pada desain komunikasi visual bertujuan untuk lebih memudahkan target sasaran kampanye untuk menyadari isi dari kampanye yang dibuat.

Ramlan secara spesifik mendefinisikan kampanye sosial sebagai sebuah proses untuk mengomunikasikan pesan-pesan yang berisi tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan juga bersifat non-komersil. Tujuan umum dari kampanye sosial sendiri adalah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan gejala sosial yang sedang terjadi (Ramlan, 2006:19). Kampanye sosial dikatakan sebuah proses dan serangkaian tindakan komunikasi terencana maka diperlukan strategi yang tepat untuk dapat menyampaikan pesan secara efektif terhadap target sasaran. Berdasarkan penjelasanpenjelasan dapat disimpulkan bahwa kampanye sosial adalah serangkaian proses komunikasi terencana bersifat nonkomersil dalam kurun waktu tertentu yang berisi pesan tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Penelitian ini  menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasuspenelitian kualitatif dianggap tepat guna menjelaskan proses deliberative dialogue yang berlangsung di dalam sebuah komunitas baik itu dialog yang terjadi antaranggota komunitas maupun antara anggota komunitas dan pihak eksternal (Neuman(2003). Dengan pendekatan studi kasus, fokus penelitian akan dapat dipahami secara mendalam dan komprehensif dan diharapkan dapat menganalisis proses, aktivitas, serta peristiwa komunitas dalam melakukan proses deliberative dialogue. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan focus group discussion.

Pola Hubungan (Relationship) Komunitas

Komunikasi dilakukan secra face to face dengan beradu argumentasi dan gagasan yang diutarakan setiap anggota komunitas  (PPDI) terkait pelaksanaan kampanye quota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas. Mahretha maha, salah satu pengurus PPDI dan bertindak sebagai program manajer program Sansea manyampaikan penting penghormatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas khususnya pemenuhan quota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas.

Mahreta juga sebagai fasilitator menyampaikan pengantar dengan cara memantik dengan beberapa pertanyaan misalnya apa tantangan penyandang disabilitas dalam meperoleh pekerjaan yang layak. Dengan cara demikian masing masiing anggota PPDI berapi menyampaikan pendapatnya khususnya mereka yang ounya pengalaman dalam melamar pekerjaan. Setelah semua anggota menyampaikan pendapatnya. Partisipasi para anggota untuk menyampaikan pesan yang disebarluarkan kepada masyarakat sampai media apa saja yang akan digunakan dalam mengkampanyekan pesan yang sudah disepakati.  

Partisipasi ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilita.  Konsep partisipasi mengacu kepada United Nations Economic and Social Council Resolution 1929 (LVIII) yang menjelaskan bahwa salah satu bentuk partisipasi ialah adanya keikutsertaan masyarakat secara demokratis dalam mengambil keputusan dan memformulasikan perencanaan baik secara ekonomi maupun sosial pada program pembangunan (Deviyanti, 2013; Djoeffan, 2002; Gani, 2015; Laily, 2014; Sigalingging, 2014; Jastam, 2015; Mohamad, Sutra & Kusnawati, 2012).

Melalui mekanisme berbagi gagasan dan dilengkapi berbagai argumentasi yang dikeluarkan oleh anggota PPDI. Hubungan kerja sama antaranggota komunitas sewaktu melakukan kegiatan kampanye pemenuhan kuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas. Kepercayaan untuk mengemukakan ide serta pendapat oleh anggota Komunitas PPDI cukup baik karena para pemyandang disabilitas mampu menyampaikan dengan baik.

Proses Komunikasi Kerjasama Komunitas

Proses kerjasama yang dilakukan oleh komunitas ini pada akhirnya membentuk kesepakatan untuk masing-masing anggota PPDI mau ikut mengkampanyekan hak penyandang disabilitas melalui grup mereka dsri berbagai organisasi  norma kolektif secara bersama-sama, misalnya kegiatan menabung. Terdapat beberapa aturan dan norma yang disepakati secara bersama-sama. Beberapa di antaranya adalah mengenai jumlah maksimal uang yang dipinjamkan pada anggota komunitas. Selain itu, batas waktu pengembalian uang juga sudah disepakati bersama. Namun, tak ada denda yang diberlakukan terhadap anggota yang telat membayar. Konsekuensi keterlambatan membayar pinjaman adalah anggota komunitas tidak boleh meminjam uang lagi selama pinjaman yang terdahulu belum dikembalikan.

Proses Komunikasi Internal Komunitas

Proses komunikasi dan diskusi dilakukan setiap hari sabtu pada saat kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas dilakukan. Prsoses diskusi biasanya dilakukan pada saat makan siang bersama-sama. Dari hasil observasi di lapangan, tidak ada batasan jarak, baik dari hal kesukuan maupun tingkat pendidikan. Artinya, tak ada yang mendominasi dalam hal pengetahuan, baik pengetahuan umum maupun dalam hal kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, proses komunikasi dalam memecahkan masalah atau merencanakan program bisa berlangsung setara dan melalui musyawarah mufakat. Adanya teori kampanye sosial dalam kampanye pemenuhan quota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas  merupakan kerangka awal dalam tindakan untuk mempengaruhi khalayak sasaran yang telah diterapkan. Meskipun sudah ada  UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas namun tetap mengedepankan prinsip persuasi. Prinsip persuasi ini menjadi landasan untuk mengajak dan mendorong perusahaan untuk menerima sesuatu yang dianjurkan . Prinsip persuasi ini berpengaruh terhadap pesan dan media pada kampanye sosial Sentuhan 6 Gerakan. Adanya pendekatan komunikasi mampu membuat khalayak sasaran lebih menyadari  pesan yang akan di hadirkan. Terlihat pada media yang dipilih berdasarkan waktu yang ditentukan. Adanya peran media sosial kampanye ini dapat disebarluadkan secara massive. Pemilihan media sosial dalam kegiatan kampanye lebih didsarkan pada alasan biaya ringan dan lebih efektif. Hasil postingan bisa diviralkan di grop komunitas penyandng disabilitas maupun group whats up yang lain.

Beberapa contoh kampanye melalui media sosial PPDI

 

 

Dari media sosial yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat adalah instagram. Bahkan ada beberapa follower menanyakan lowongan pekerjaaan ke DPP Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia.

 

KESIMPULAN

Dialog yang terbuka dan setara mempunyai peran besar dalam proses  kegiatan  kampanye sosial pembrdayaan penyandang disabilitas di Jakarta,. Pengelolaan lingkungan di perkotaan. Hal ini mencakup tahap perencanan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Dalam kegiatan ini, keterbukaan dan kesetaraan menjadi prinsip dalam melakukan kegiatan kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas. Proses ini yang kemudian menyebabkan kegiatan komunitas dapat terus berlanjut. Adapun proses keterbukaan dan kesetaraan dalam Komunitass PPDI tidak bisa terlepas dari peran para aktor yang merupakan bagian dari masyarakat setempat. Meskipun sejumlah aktor yang terlibat mempunyai kesempatan dan otoritas tinggi dalam program kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas, pada kenyataannya mereka selalu mengajak anggota komunitas untuk diskusi bersama dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, anggota komunitas merasa dihargai sehingga bisa ikut merasa memiliki program kampanye pemenuhan kuota 1 persen tenaga penyandang disabilitas

REFERENSI

Arnstein, Sherry R. (1969). “A Ladder Of Citizen Participation”. Journal of the American Plan-ning Association, 35 (4): 216-224.

Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.

Dale, A. (2005). A Dynamic Balance: Social Capital and Sustainable Development. Vancouver:

BC Press.

Deviyanti, Dea. (2013). “Studi tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan Tengah”. eJournal Administrasi Negara, 1(2): 380-394.

Djoeffan, Sri Hidayati. (2002). “Strategi Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia”. Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan), 18(1): 54-77.

Fahriani, Nisfi, Santoso Tri Raharjo dan Hery Wibowo. (2016). “Pemberdayaan Masyarakat melalui Kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas di Desa Wisata Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung”. Prosiding Penelitian & Pengabdian Masyarakat, 3(2): 160-166.

Gani, Ferdi S. (2015). “Tahapan Partisipasi Masyarakat dalam Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) di Desa Dungaliyo Kecamatan Dungaliyo Kabupaten Gorontalo”. Jurnal Administrasi Publik, 5(1): 9-19.

Harriger, Katy J. (2014). “Deliberative Dialogue and the Development of Democratic Dispo-sitions”. New Directions for Higher Education, 53-61.

Laily, Elida Imro’atin Nur. (2015). “Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Partisipatif”. Kebijakan dan Manajemen Publik, 3(2): 186-190.

McCoy, Martha L. and Patrick L. Scully. (2002). “Deliberative Dialogue to Expand Civic En-gagement: What Kind of Talk Does Democracy Need?” National Civic Review, 91(2): 117-135.

Mohamad, Fatmawati, Dharma Cakrawartana Sutra dan Endang Kusnawati. (2012). “Pemberdayaan Masyarakat dalam Kampanyekuota 1 persen tenaga kerja penyandang disabilitas di Dukuh Mrican Sleman Yogyakarta”. Jurnal Health & Sport, 5(3): 695-706.

Antar, Venus. 2004. Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekaatam Media.

 

Ball-Rokeach, S.J., & DeFleur, M.L. 1976. A dependency model or mass-media effects. Communication Research, 3

Neuman, Lawrance. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Ap-

Audita. (2012). “Peran Dukungan Organisasional, Kompetensi Teknologi dan

Raelin, Joseph A. (2012). “Dialogue and Deliberation as Expressions of Democratic Leader-ship in Participatory Organizational Change”. Journal of Organizational Change Manage-ment, 25(1): 7-23.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *